A.
Pengertian Agama
Kata Agama berasal dari kata sansekerta, yaitu a dan gama; a
berarti tidak, dan gama berarti pegi.[1]Jadi Agama berarti tidak
pergi. Maksudnya Agama itu diwarisi secara turun temurun.[2]
Pada umumnya, perkataan “ agama “ diartikan tidak kacau, yang secara analisis
diuraikan dengan cara memisahkan kata demi kata, yaitu a berarti “ tidak “ dan gama berarti “
kacau “ maksudnya orang yang memeluk agama dan mengamalkan ajaran-ajarannya
dengan sungguh-sungguh, hidupnya tidak akan mengalami kekacauan.
Perkataan agama dalam bahasa arab ditransliterasikan dengan ad-din.
Dalam kamus Al-Munjid, perkataan din memiliki arti harfiah yang cukup
banyak, yaitu pahala, ketentuan, kekuasaan, peraturan dan perhitungan.
Pengertian agama secara terminologis, menurut beberapa pendapat para ahli
adalah sebagai berikut :
1.
Emile Durkheim
mengartikan, sebagai suatu kesatuan sistem kepercayaan dan pengalaman terhadap
ia suatu kepercayaan yang sakral, kemudian kepercayaan dam pengalaman tersebut
menyatu kedalam suatu komunitas moral.
2.
John R. Bennet
mengartikan agama sebagai penerimaan atas tata aturan terhadap
kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi daripada kekuatan-kekuatan yang dimiliki
oleh manusia sendiri.
3.
Frans Dahler
mendefinisikn agama sebagai hubungan manusia dengan sesuatu kekuatan suci yang
lebih tinggi daripada manusia itu sendiri, sehingga ia berusaha mendekatinya
dan memiliki rasa ketergantungan kepadanya.
4.
Karl Mark berpendapat
bahw agama adalah keluh jesah dari makhluk yang tertekan hati dari dunia yang
tidak berhati, jiwa dari keadaan yang tidak berjiwa bahkan menurut pendapatnya pula
bahwa agama dijadikan sebagai candu masyarakat.
5.
Para Ulama Islam
mendefinisikan agama adalah sebagai undang-undang kebutuhan manusia dari
Tuhannya yang mendorong meereka untuk berusaha agar tercapai kebahagiaan hidup
di dunia dan akhirat.
Dari beberapa pengertian agama diatas, dapat disimpulkan bahwa agama
merupakan satu sistem credo (tata
keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak diluar
manusia, dan satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang
dianggapnya mutlak serta sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubugan
manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata
peribadatan tesebut.[3]
Eksistensi agama selain sebagai sistem kepercayaan
yang mengharuskan adanya kebenaran, juga sebagai tindakan praktis terhadap
aplikasi kepercayaan (iman) yang telah diakui kebenaraanya. Dalam hal ini Ibnu
Sina memiliki dua aspek missi, yaitu missi teoritis dan praktis. Missi teoritis berfungsi mengarahkan jiwa manusia
menuju kebahagiaan abadi dengan mengajarkan ajaran dasar keimanan terhadap
eksistensi Tuhan, realitas wahyu, dan kenabian serta kehidupan sesudah mati.
Adapun missi praktis mengajarkan aspek-aspek praktis
agama sebagai tindakan ritual untuk dilaksanakan oleh seseorang yang beriman.[4]
B.
Pengertian Studi Agama
Studi agama adalah kajian ilmiah tentang agama.mencakup segala sesuatu yang
berhubungan dengan agam. Frank Whaling membaginya kepada dua bagian, yaitu
tentang the major tradition dan the minor living tradition. Major
tradition adalah seluruh agama yang ada di dunia, sedangkan the minor living
tradition adalah sekte-sekte yang ada dalam masing-masing agama.[5]
Dengan demikian, studi agama mencakup segala hal tentang agama. Menyangkut
isi ajaran agama dan aplikasi pada perilaku manusia. Sejalan dengan itu, studi
agama mengguakan berbagai pendekatan dan metode, seperti pendekatan filsafat,
sosiologi, antropologi, sejarah, phenomenologi, psikologi, linguistik dan
lain-lain,termasuk pendekatan agama itu sendiri, khususnya pendekatan teologi.[6]
Studi agama adalah kegiatan ‘keilmuan’ bukan kegiatan ‘keagamaan’. Kegiatan
keilmuan mengandalkan perlunya pendekatan kritis, analitis dan historis,
sedangkan kegiatan keagamaan lebih menonjolkan sikap pemihakan,idealitas dan
bahkan sering diwarnai dengan pembelaan secara apologis.[7]
Berdasarkan itu dapat dirumskan bahwa studi agama adalah kajian ilmiah
tentang agama dari berbagai aspeknya, dengan kata lain, menjadikan agama
sebagai objek kajian ilmiah.
C.
Latar belakang perlunya
manusia terhadap Agama
Sekurang-kurangnya ada empat alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia
terhadap agama. Keempat alasan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:[8]
1.
Latar belakang fitrah
manusia.
Kenyataan bahwa manusia memiliki fitrah
keagamaan pertama kali ditegaskan dalam ajaran islam, yakni bahwa agama adalah
kebutuhan fitri manusia.Fitrah keagamaan yang ada dalam diri manusia inilah
yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama.
2.
Kelemahan dan kekurangan
Manusia.
Faktor lainnya yang melatarbelakangi
manusia memerlukan agama adalah karena disamping manusia memilki berbagai
kesempurnaan juga memiliki kekurangan. Hal ini antara lain diungkapkan oleh
kata Al-nafs. Nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi
menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan,dan karena itu
sisi dalam manusia inilah yang oleh Al-qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian
lebih besar.
3.
Tantangan Manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia
memerlukan agama adalah karena mansia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi
berbagai tantangan, baik yang datang dari dalam maupun yang datang dari
luar.Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan.
Sedangkan tantangan dari luar berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan
manusia yang secara sengaja berupaya untuk memalingkan manusia dari Tuhan.
D.
Studi Agama Sebagai
Suatu Disiplin Ilmu Pengetahuan
Menurut Muhammad Abduh, agama merupakan sebuah produk
Tuhan. Tuhan juga mengajarkannya kepada umat manusia, dan membimbing manusia
untuk menjalankanya. Agama merupakan alat untuk akal dan logika, bagi
orang-orang yang ingin kabar gembira dan sedih. agama menurut sebagian orang
merupakan sesuatu hal yang menyangkut hati; suatu hal yang sangat berarti; suatu
hal yang menuntun jiwa untuk menemukan keyakinan.
Agama dengan eksistensinya telah membuatnya berbeda
dengan segala apa yang pernah ada, membuatnya berbeda dengan dengan segala yang
pernah dimiliki manusia. Agama membuat orang melakukan aktifitas yang harus
bersesuaian dengan apa yang diajarkannya, baik tuntunan itu berat ataupun
ringan. Agama menjadikan kehidupan manusia lebih teratur dalam kehidupannya,
karena segala dorongan dan keinginannya menjadi lebih terarah. Agama menjadi
pemimpin roh jiwa manusia. Ia juga berperan aktif membimbing manusia untuk
memahami ajaran-ajaranya. Diibaratkan seorang manusia layaknya seorang yang
berada diujung pedang, jika salah maka orang tersebut mati olehnya, tetapi
agama-agama datang sebagai penyelamat. Apapun yang terjadi pada manusia, ia
tidak akan bisa terlepas dari agama. Sangat mustahil memisahkan kehidupan
manusia dari agama. Seperti halnya menghilangkan luka bekas operasi dari kulit
manusia.[9]
Bagi kalangan barat, agama adalah penghalang kemajuan.
Oleh karena itu, mereka beranggapan, jika ingin maju maka agama tidak boleh
lagi mengatur hal-hal yang berhubungan dengan dunia. Seorang Karl marx
mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat, candu merupakan zat yang dapat
menimbulkan halusianasi yang membius. Marks mendefinisikan bahwa setiap
pemikiran tentang agama dan tuhan sangat berbahaya bagi kehidupan manusia.
sebagai seorang materialisme, Marks sama sekali tidak percaya adanya Tuhan dan
secara tegas ia ingin memerangi semua agama. Dalam pernyataan Marks, sebenarnya
yang dimaksud dengan candu masyarakat merupakan kritik terhadap realitas yang
tidak berpihak pada kaum lemah. Misalnya orang yang sedang kelaparan hanya
membutuhkan nasi atau sepotong roti untuk mengisi perutnya, bukan membutuhkan
siraman rohani ataupun khutbah yang berisikan tentang kesabaran, namun tidak
memperdulikan tentang realitas sosial.
Ilmu pengetahuan yang dipahami dalam arti pendek
sebagai pengetahuan objektif, tersusun, dan teratur. Ilmu pengetahuan tidak
dapat dipisahkan dari agama. Sebut saja al-Quran, al-Quran merupakan sumber
intelektualitas dan spiritualitas. Ia merupakan sumber rujukan bagi agama dan
segala pengembangan ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber utama inspirasi
pandangan orang islam tentang keterpaduan ilmu pengetahuan dan agama. Manusia
memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber dan melalui banyak cara dan jalan,
tetapi semua pengetahuan pada akhirnya berasal dari Tuhan. Dalam pandangan
al-Quran, pengetahuan tentang benda-benda menjadi mungkin karena Tuhan memberikan
fasilitas yang dibutuhkan untuk mengetahui.
Para ahli filsafat dan ilmuan muslim berkeyakinan
bahwa dalam tindakan berpikir dan mengetahui, akal manusia mendapatkan
pencerahan dari Tuhan Yang Maha.[10]
mengetahui
sesuatu yang belum diketahui dan akan diketahui dengan lantaran model dan
metode bagaimana memperolehnya.
Al-Quran bukanlah kitab ilmu pengetahuan, tetapi ia
memberikan pengetahuan tentang prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang selalu
dihubungkan dengan pengetahuan metafisik dan spiritual. Panggilan al-Quran
untuk “membaca dengan Nama Tuhanmu” telah dipahami dengan pengertian bahwa
pencarian pengetahuan, termasuk didalamnya pengetahuan ilmiah yang didasarkan
pada pengetahuan tentang realitas Tuhan. Hal ini dipertegas oleh Ibnu Sina yang
menyatakan, Ilmu pengetahuan disebut ilmu pengetahuan yang sejati jika
menghubungkan pengetahuan tentang dunia dengan pengetahuan Prinsip Tuhan.
Agama dan ilmu pengetahuan memang berbeda metode yang
digunakan, karena masing-masing berbeda fungsinya. Dalam ilmu pengetahuan kita
berusaha menemukan makna pengalaman secara lahiriyah, sedangkan dalam agama
lebih menekankan pengalaman yang bersifat ruhaniah sehingga menumbuhkan
kesadaran dan pengertian keagamaan yang mendalam. Dalam beberapa hal, ini
mungkin dapat dideskripsikan oleh ilmu pengetahuan kita, tetapi tidak dapat
diukur dan dinyatakan dengan rumus-rumus ilmu pasti. Agama adalah sesuatu yang
tidak dapat berubah, bersifat abadi, dan diberikan sekali untuk selamanya
sedangkan ilmu pengetahuan sebaliknya.[11]
Sekalipun demikian, ada satu hal yang sudah jelas,
bahwa kehidupan jasmani dan rohani tetap dikuasai oleh satu tata aturan hukum
yang universal. Ini berarti, baik agama maupun ilmu pengetahuan, yaitu Allah.
Keduanya saling melengkapi dan membantu manusia dalam bidangnya masing-masing
dengan caranya sendiri.
Fungsi agama dan ilmu pengetahuan dapat dikiaskan
seperti hubungan mata dan mikroskop. Mikroskop telah membantu indera mata kita
yang terbatas, sehingga dapat melihat bakteri-bakteri yang terlalu kecil untuk
dilihat oleh mata telanjang. Demikian pula benda langit yang sangat kecil
dilihat dengan mata telanjang, ini bisa dibantu dengan teleskop karena terlalu
jauh. Demikian halnya dengan wahyu Ilahi, telah membantu akal untuk memecahkan
masalah-masalah rumit yang diamati oleh indera.
Dengan mengetahui begitu pentingnya studi agama untuk
memahami agama-agama yang diteliti secara ilmiah, sebagaimana yang dikatakan
Joachim wach: it should be clear that the central concern of
religionswiienschaft must be the understanding of other religions.
Karena studi agama dapat memberikan kontribusi bagi pertumbuhan dan
perkembangan ilmu pengetahuan.
Di dalam doktrin agama, terdapat beberapa landasan
yang menunjukan, bahwa disamping ada kebenaran yang muthlak yang langsung dari
Allah swt. diakui pula eksistensi kebenaran relatif yang merupakan hasil usaha
pencapaian budaya manusia, seperti: kebenaran spekulatif filsafat dan kebenaran
positif ilmu pengetahuan serta kebenaran pengetahuan biasa di dalam kehidupan
sehari-hari.
[1] Harun Nasution, Islam
Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Universitas indonesia press, 1977),
hal. 9
[2] Baharuddin dan Buyung
Ali Sihombing, Metode Studi Islam, (Bandung: Ciptapustaka Media,2005), hal. 9
[3]Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, (
Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003), hal. 17-19.
[4]Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat
Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), hal. 80-82.
[5] Baharuddin dan Buyung
Ali Sihombing, Op.Cit, hal. 19.
[6] Ibid.,
[7] Ibid,.
[8] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal.16-25.
[9]Muhammad Abduh, Islam; Ilmu Pengetahuan dan
Msyarakat Madani, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004) hal.4
[10]Amtsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal.230-231
[11]Burhanudin Daya, Ilmu Perbandingan Agaman di Indonesia dan Belanda,
(Jakarta: INIS,1992), hlm. 14