Selasa, 25 Juni 2019

Filsafat Ilmu

   
PEMBAHASAN

A.      Pengetahuan dan Ukuran Kebenaran
1.    Definisi Pengetahuan
Paul Edwards dalam bukunya The Encyclopedia of Philosophy menyatakan bahwa secara etimologi, pengetahuan berasal dari bahasa Inggris yaitu knowledge. Didalam buku tersebut juga dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief)[1]. Sedangkan secara terminologi, Sidi Gazalba dalam bukunya Sistematika Filsafat menyatakan pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti, dan pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.[2]
Dalam Kamus Filsafat yang ditulis oleh Loren Bagus dijelaskan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) didalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.[3]
Ada sebagian ahli yang berpandangan bahwa pengetahuan  dengan ilmu tidaklah berbeda. Pengetahuan bagi mereka tidak ubahnya sebagai ilmu, sehingga ilmu dengan pengetahuan tidak berbeda. Sebagian lagi memahami bahwa pengetahuan berbeda dengan ilmu atau ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah. Sebagaimana dinyatakan  M. Thoyibi, pengetahuan ilmiah tidak lain adalah ‘a higner level’  dalam perangkat pengetahuan manusia dalam arti umum sebagaimana kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan menurut Amsal Bakhtiar, pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.[4]
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu obyek tertentu, termasuk kedalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Bahkan seorang anak kecil pu telah mempunyai berbagai pengetahuan sesuai dengan tahap pertumbuhan dan kecerdasannya. Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut memperkaya hubungan antar manusia. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu tak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.[5]
      2.    Jenis-jenis Pengetahuan
Beranjak dari pengetahuan adalah kebenaran dan kebenaran adalah pengetahuan, maka di dalam kehidupan manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran. Burhanuddin salam, mengemukakan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia ada empat, yaitu:
Pertama, pengetahuan biasa, yakni pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan dengan istilah common sense, dan sering diartikan dengan good sense,  karena seseorang memiliki sesuatu dimana ia menerima secara baik. Semua orang menyebutnya sesuatu itu merah karena memang itu merah, benda itu panas karena memang dirasakan panas dan sebagainya.
Kedua, pengetahuan ilmu, yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam, yang sifatnya kuantitatif dan objektif.
Ketiga, pengetahuan filsafat, yakni pengetahuanyang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu bidang pengetahuan yang sempit dan rigid, filsafat membahas hal yang lebih luas dan mendalam. Filsafat biasanya memberikan pengetahuan yang reflektif dan kritis, sehingga ilmu yang tadinya kakudan cenderung tertutup menjadi longgar kembali
Keempat, pengetahuan agama, yakni pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat utusan-Nya. Pengethauan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama. Pengetahuan mengandung beberapa hal pokok, yaitu ajaran tentang cara berhubungan dengan Tuhan, yang sering juga disebut dengan vertikal dan cara berhubungan dengan sesama manusia, yang sering disebut dengan hubungan horizontal.[6]
Jenis-jenis pengetahuan juga dapat dilihat pada pendapat Plato dan Aristoteles. Plato membagi pengetahuan menurut tingkatan-tingkatan pengetahuan sesuai dengan karakteristik obyeknya. Pembagiannya adalah:
a.    Pengetahuan Eikasia (khayalan).
Tingkatan yang paling rendah disebut pengetahuan Eikasia, ialah pengetahuan yang obyeknya berupa bayangan atau gambaran. Pengetahuan ini isinya adalah hal-hal yang berhubungan dengan kesenangan atau kesukaan serta kenikmatan manusia yang berpengatahuan. Pengetahuan dalam tingkatan ini misalnya seseorang yang menghayal bahwa dirinya pada saat tertentu mempunyai rumah yang mewah, besar dan indah serta dilengkapi kendaraan dan lain-lain sehingga khayalannya ini terbawa mimpi. Di dalam mimpinya itu ia betul-betul merasa mempunyai dan menempati rumah itu. Apabila seseorang itu dalam keadaan sadar dan menganggap bahwa khayal dan mimpinya itu betul-betul berupa suatu fakta yang ada dalam dunia kenyataan.
b.    Pengetahuan Pistis (substansial)
Satu tingkat di atas eikasia adalah tingkatan pistis atau pengetahuan substansial. Pengetahuan ini adalah pengetahuan mengenai hal-hal yang tampak dalam dunia kenyataan atau hal-hal yang dapat diinderai secara langsung. Obyek pengetahuan pistis biasa disebut zooya oleh karena demikian itu isi pengetahuan semacam ini mendekati suatu keyakinan (kepastian yang bersifat sangat pribadi atau kepastian subyektif) dan pengetahuan ini mengandung nilai kebenaran apabila mempunyai syarat-syarat cukup bagi suatu tindakan mengetahui; misalnya mempunyai pendengaran yang baik, penglihatan normal serta indera yang normal.
c.    Pengetahuan Dianoya (Matematik)
Pengetahuan dalam tingkatan ketiga adalah pengetahuan dianoya. Plato menerangkan tingkat pengetahuan ini ialah tingkat yang ada di dalamnya sesuatu yang tidak hanya terletak pada fakta atau obyek yang tampak tetapi juga terletak pada bagaimana cara berpikirnya. Contoh yang dituturkan oleh Plato tentang pengetahuan ini ialah para ahli matematika atau geometri, dimana obyeknya adalah matematik yakni suatu yang harus diselidiki dengan akal budi dengan melalui gambar-gambar, diagram kemudian ditarik suatu hipotesa. Hipotesa ini diolah terus hingga sampai pada kepastian. Dengan demikian dapat dituturkan bahwa bentuk pengetahuan tingkat dianoya ini adalah pengetahuan yang banyak berhubungan dengan masalah matematik atau kuantitas entah lus, isi, jumlah, berat yang semata-mata merupakan suatu kesimpulan dari hipotesa yang diolah oleh akal pikir karenanya pengetahuan ini disebut juga pengetahuan pikir.
d.   Pengetahuan Noesis (Filsafat).
Pengetahuan tingkat tertinggi disebut Noesis, pengetahuan yang obyeknya adalah arche ialah prinsip-prinsip utama yang mencakup epistemologik dan metafisik. Prinsip utama ini biasa disebut “IDE”. Plato menerangkan tentang pengetahuan ini adalah hampir sama dengan pengetahuan pikir tetapi tidak lagi menggunakan pertolongan gambar, diagram melainkan dengan pikiran yang sungguh-sungguh abstrak. Tujuannya adalah untuk mencapai prinsip-prinsip utama yang isinya adalah hal-hal yang berupa kebaikan, kebenaran, dan keadilan. Menurut Plato cara berpikir untuk mencapai tingkat tertinggi dari pengetahuan itu adalah dengan menggunakan metode dialog sehingga dapat dicapai pengetahuan yang sungguh-sungguh sempurna yang biasa disebut Episteme. (Abbas Hamami M)[7]
3.    Hakikat Pengetahuan
Dapat dikatakan menjadi pengetahuan apabila terdapat usaha didalamnya, sebab pengetahuan sendiri itu merupakan hasil reaksi manusia sendiri atas obyek yang dia lihat, kalau obyek tersebut dilihat semata maka menjadi pengalaman, dan apabila obyek tersebut dilihat dengan cara ilmu melihat maka akan menjadi ilmu pengetahuan. Sehingga usaha yang dilakukan secara nonilmiah menghasilkan pengetahuan (knowledge), dan bukan science. Sedangkan melalui usaha yang bersifat ilmiah menghasilkan pengetahuan ilmiah atau ilmu.
Dengan demikian secara umum hakikat pengetahuan dapat kita pahami sebagai berikut:
a.    Pengetahuan non ilmiah/ pengetahuan biasa (common sense).
Pengetahuan non ilmiah ialah pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan cara-cara yang tidak termasuk dalam kategori metode ilmiah. Secara umum pengetahuan non ilmiah ialah hasil pemahaman manusia mengenai suatu objek tertentu yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari.

Beberapa contoh pengetahuan non ilmiah ialah sebagai berikut:
1)   Semua mata air memiliki penunggu.
2)   Burung gagak yang berkeliaran di atas rumah seseorang menandakan kematian.
3)   Anjiing yang melolong panjang di malam hari sedang melihat makhluk halus.
4)   Mereka yang memiliki gigi depan yang jarang, tak bisa dipercaya.
5)   Perempuan yang memiliki tahi lalat persis di tengah dada akan menyusahkan pasangannya kelak.[8]
b.    Pengetahuan ilmiah.
Pengetahuan ilmiah ialah segenap hasil pemahaman manusia yang diperoleh dengan menggunakan metode ilmiah. Pengetahuan ilmiah adalah suatu pengetahuan yang sudah lebih sempurna karena telah mempunyai dan memenuhi syarat tertentu dengan cara berpikir yang khas, yaitu metodologi ilmiah. Pengetahuan noesis (filsafat).
Contoh pengetahuan ilmiah ialah ketika seorang dokter mendiagnosis penyakit pasiennya, maka dokter tersebut akan terlebih dahulu melakukan tindakan medis yang bersifat ilmiah untuk mengetahui penyakit apa yang telah dialami oleh pasiennya tersebut.
c.    Pengetahuan Noesis (filsafat).
Pengetahuan yang tidak mengenal batas, sehingga yang dicari adalah sebab-sebab yang paling hakiki. Pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebanaran yang asli yang mengandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika atau pengetahuan yang objeknya adalah arche ialah prinsip utama yang mencakup epistemo-logik dan metafisik, ontologi dan aksionlogi.
d.   Pengetahuan agama.
Definisi pengetahuan agama adalah pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan melalui para Nabi dan Rasul-Nya yang bersifat mutlak dan wajib diikuti para pemeluknya. Menjadi tolak ukur kebenaran dalam suatu keyakinan dan perpegang pada kitab yang dipegang para pemeluknya.[9]

Ahmad Tafsir menyatakan bahwa pengetahuan pada dasarnya adalah keadaan mental (mental state). Mengetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang suatu objek, dengan kata lain menyusun gambaran tentang fakta yang ada di luar akal. Ada dua teori untuk mengetahui hakikat pengetahuan, yaitu:
a.    Realisme. Teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut realisme adalah gambaran yang sebenarnya dari apa yang ada di alam nyata (dari fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah dari yang asli yang ada diluar akal. Hal ini tidak ubahnya seperti gambaran yang terdapat dalam sebuah foto. Dengan demikian, relisme  berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan.
b.    Idealisme. Ajaran idealisme menegaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses psikologis yang bersifat subjektif. Oleh karena itu, pengetahuan bagi seorang idealis hanya merupakan gambaran subjektif bukan gambaran objektif tentang realitas. Subjektif dipandang sebagai suatu yang mengetahui, yaitu dari orang yang membuat gambaran tersebut. Karena itu, pengetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan hakikat kebenaran. Yang diberikan hanyalah gambaran menurut pendapat atau pengelihatan orang yang mengetahui.[10]
4.    Sumber Pengetahuan
        Semua orang mengakui memiliki pengetahuan. Persoalannya adalah dari mana pengetahuan itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan didapat. Persoalan yang muncul tentang bagaimana proses terbentuknya pengetahuan yang dimiliki oleh manusia dapat diperoleh melalui cara pendekatan apriori maupun aposteriori. Pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan apriori adalah pengetahuan yang diperoleh tanpa mengetahui proses pengalaman, baik pengalaman yang bersumber pada panca indra maupun pengalaman batin atau jiwa. Sebaliknya, pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan aposteriori adalah pengetahuan yang diperolehnya melalui informasi dari orang lain atau pengalaman yang telah ada sebelumnya. Pengetahuan yang ada pada kita diperoleh dengan menggunakan  berbagai alat yang merupakan sumber pengetahuan tersebut.[11] Dalam hal ini ada beberapa pendapat tentang sumber pengetahuan, antara lain:
a.    Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantara para Nabi. Para Nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa bersusah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan, mereka terjadi atas kehendak Tuhan semesta. Wahyu Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik mengenai kehidupan seseorang yang terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah transendental. Kepercayaan ini yang merupakan titik tolak dalam agama lewat pengkajian selanjutnya dapat menigkatkan atau menurunkan kepercayaan itu.[12]
b.    Empirisme
Menurut aliran ini, manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya, kebenaran pengetahuan hanya didasarkan pada fakta-fakta yang ada dilapangan. Pengetahuan manusia itu dapat diperoleh melalui pengalaman yang konkret karena gejala-gejala alamiah yang terjadi dimuka bumi ini adalah bersifat konkret dan dapat dinyatakan melalui pancaindra manusia. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yakni kesan-kesan (impressions) dan pengertian-pengertian atau ide-ide (ideas). Yang dimaksud kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, seperti merasakan tangan terbakar. Yang dimaksud dengan ide adalah gambaran tentang pengamatan yang samar-samar yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau terefleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman. Berdasarkan teori ini, akal hanya megelola konsep gagasan inderawi. Sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh dari panca indera. Akal tidak berfungsi banyak, kalaupun ada, itu pun sebatas ide yang kabur.[13]
c.    Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek. Fungsi panca indera hanya untuk memperoleh data-data dari alam nyaa dan akalnya menghubungkan data-data itu dengan yang lain.
d.   Intuisi
Menurut Henry Bergson intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Intuisi adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukan pengetahuan yang nisbi. Intuisi mengatasi sifat lahiriyah pengetahuan simbolis, yang pada dasarnya bersifat analisis, menyeluruh, mutlak, dan tanpa dibantu oleh penggambaran secara simbolis. Karena itu, intuisi adalah sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika.Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur, intuisi tidak dapat diandalkan. Pengetahuan intuisi dapat dipergunakan sebagai hipotesa bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakan. Kegiatan intuisi dan analisis bisa bekerja saling membantu dalam menemukan kebenaran.[14]


[1]Amsal Bakhtiar, Filafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 85
[2]Ibid., hlm. 85
[3]Ibid., hlm. 85-86
[4]A. Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 46-47
[5]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.  Cet. Ke XIV, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2013) , hlm. 104
[6]Amsal Bakhtiar, Op.,Cit hlm. 86-88
[7]Surajiyo dan Sriyono, “Struktur Pengetahuan Ilmiah dan Sikap Ilmiah Ilmuwan”, e-journal universitas Indraprasta PGRI Jakarta, 08 April 2017, hlm. 12-13. https://journal.lppmunindra.ac.id.  Diakses pada Kamis 09 Mei 2019 pukul 23.31 WIB.
[8]https://brainly.co.id. Diakses pada hari Jum’at 17 Mei 2019 pukul 05.52 WIB.
[9]Achmad Choirul Umam, Hakekat Pengetahuan (Definisi, Jenis, Hakekat dan Sumber), hlm. 6-7. https://www.academia.edu. Diakses pada Jum’at 10 Mei 2019 pukul 00.19 WIB.
[10]Malinda Wani Septi dan Mila Mahara, Hakikat Pengetahuan, https://www.academia.edu.  Diakses pada Jum’at 10 Mei 2019 pukul 01.34 WIB
[11]Ahmad Tafsir,  Filsafat Ilmu, (Bandung: Rosda Karya, 2003), hlm. 90
[12]A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 77

[13]J, Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 2002.), hlm. 130
[14]Suwardi Endraswara,  Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: CAPS, 2012), hlm. 55

Tharekat

   

PEMBAHASAN

A.   THAREKAT
1.    Pengertian Tarekat
Kata tarekat berasal dari bahasa Arab “al-thariq” yang berarti jalan yang ditempuh dengan jalan kaki. Dari pengertian ini kemudian kata tersebut digunakan dalam konotasi makna cara seseorang melakukan suatu pekerjaan, baik terpuji maupun tercela. Menurut istilah tasawuf sendiri, tarekat ialah perjalanan khusus bagi para sufi yang menempuh jalan menuju Allah Swt. Perjalanan yang mengikuti jalur yang ada melalui tahap dan seluk-beluknya.[1] Kata tarekat, secara umum mengacu pada metode latihan atau amalan (zikir, wirid, muraqabah), juga pada institusi guru dan murid yang tumbuh bersamanya.
Hubungan seorang pembimbing (mursyid) dengan yang dibimbing (murid) dan yang dibimbing dengan yang lainnya lama kelamaan mengikat satu persaudaraan thariqot yang disebut dengan persaudaraan shufi. Akhirnya thariqot tidak hanya dikonotasikan pada suatu metode praktis tetapi dikonotasikan sebagai lembaga bimbingan calon shufi, yang elemennya adalah guru (syekh, mursyid), murid, tempat (yang disebut dengan zawiyah), perjanjian antara guru dan murid (baiat), do’a dan wirid khusus, adanya penyebaran oleh bekas murid setelah mendapat ijazah dari gurunya dengan silsilah yang diakui kebenarannya sampai kepada Nabi Muhammad Saw. Guru didalam tarikat adalah orang yang paling berpengaruh. Ia mempunyai wewenang (otoritas) yang sangat luas.[2]

B.   SEJARAH PERKEMBANGAN TAREKAT
1.    Munculnya Tarekat[3]
Sebenarnya membicarakan tarekat, tentu tidak bisa terlepas dengan tasawuf karena pada dasarnya Tarekat itu sendiri bagian dari tasawuf. Di dunia Islam tasawuf telah menjadi kegiatan kajian keislaman dan telah menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Landasan tasawuf yang terdiri dari ajaran nilai, moral dan etika, kebajikan, kearifan, keikhlasan serta olah jiwa dalam suatu kehkusyuan telah terpancang kokoh. Sebelum ilmu tasawuf ini membuka pengaruh mistis keyakinan dan kepercayaan sekaligus lepas dari saling keterpengaruhan dengan berbagai kepercayaan atau mistis lainya. Sehingga kajian tasawuf dan tarekat tidak bisa dipisahkan dengan kajian terhadap pelaksananya di lapangan.
Ajaran Islam dibawa oleh Nabi Muhammad yang pada masa awal dilaksanakan secara murni. Ketika Rasulullah wafat, cara beramal dan beribadah para sahabat dan thabi’in masih tetap memelihara dan membina ajaran Rasul, disebut amalan salaf al-shalih.
Pada abad pertama Hijriyah mulai ada perbincangan tentang teologi. Abad kedua Hijriyah mulai muncul tasawuf. Tasawuf terus  berkembang dan meluas mulai terkena pengaruh luar. Salah satu pengaruh luar adalah filsafat, baik filsafat Yunani, India maupun Persia. Muncullah sesudah abad ke- 2 Hijriyah golongan sufi yang mengamalkan amalan-amalan dengan tujuan kesucian jiwa untuk taqarrub kepada Allah.
Para sufi kemudian membedakan pengertian syari’ah, thariqat, haqiqat, dan makrifat. Menurut mereka syari’ah itu untuk memperbaiki amalan-amalan lahir, thariqat untuk memperbaiki amalan-amalan batin (hati), haqiqat untuk mengamalkan segala rahasia yang ghaib, sedangkan makrifat adalah tujuan akhiryaitu mengenal hakikat Allah baik zat, sifat maupun perbuatan-Nya.
Awal kemunculan tarekat adalah pada abad ke-3 dan ke-4 H, yang sejalan dengan kemunculan tasawuf. Pada abad ke-5 Hijriyah atau 13 Masehi barulah muncul tarekat sebagai kelanjutan kegiatan kaum sufi sebelumnya. Hal ini ditandai dengan setiap silsilah tarekat selalu dihubungkan dengan nama pendiri atau tokoh-tokoh sufi yang lahir pada abad itu. Mula-mula muncul tarekat Qodiriyah yang dikembangkan oleh syeikh Abdul Qodir Jaelani di Asia tengah Tibristan tempat kelahiran dan oprasionalnya, kemudian berkembang ke Baghdad, Irak, Turki, Arab Saudi sampai ke Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailan, India, Tiongkok. Muncul pula tarekat Rifa’iyah di Maroko dan Aljazair. Disusul tarekat Suhrawardiyah di Afrika utara, Afrika tengah, Sudan dan Nigeria. Tarekat-tarekat itu kemudian berkembang dengan cepat melalui murid-murid yang diangkat menjadi khalifah, mengajarkan dan menyebarkan ke negeri-negeri Islam, bercabang dan beranting hingga banyak sekali.
Pada perkembangannya, kata tarekat mengalami pergeseran makna. Jika pada awalnya tarekat berarti jalan yang ditempuh oleh seorang sufi dalam memndekatkan diri kepada Allah, maka pada tahap selanjutnya istilah tarekat digunakan untuk menunjuk pada suatu metode psikologi yang dilakukan oleh guru tasawuf (mursyid) kapada muridnya untuk mengenal Tuhan secara mendalam. Dari sinilah, terbentuklah suatu tarekat, dalam pengertian “jalan menuju Tuhan di bawah bimbingan seorang guru”. Ada tarekat yang dipandang sah (mu’tabarah) dan ada pula tarekat yang dianggap tidak sah (ghair mu’tabarah). Penjelasan dari keduanya yaitu: Suatu tarekat dianggap sah jika memiliki mata rantai (silsilah) yang mutawatir sehingga amalan dalam tarekat tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara syari’at. Sebaliknya, jika suatu tarekat tidak memiliki mata rantai (silsilah) yang mutawatir sehingga ajaran tarekat tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara syari’at maka ia dianggap tidak memiliki dasar keabsahan dan oleh karenanya disebut tarekat yang tidak sah (ghair al-mu’tabarah).

C.   MACAM-MACAM ALIRAN TAREKAT
1.    Tarekat Qadiriyah[4]
Qadiriyah adalah nama tarekat yang diambil dari nama pendirinya, yaitu ‘Abd al-Qadir jilani, yang terkenal dengan sebutan Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani al-ghawsts atau quthb al-awliya’. Tarekat ini mempunyai posisi yang amat penting dalam sejarah spiritualitas Islam karena telah menjadi cikal bakal munculnya berbagai macam tarekat di dunia Islam.
Ajaran tarekat Qadiriyah selalu menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia. Karena itu, dia memberikan beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang tetinggi. Adapun beberapa ajaran tersebut adalah:
a.    Taubat
b.    Zuhud
c.    Tawakal
d.   Syukur
e.    Ridha
f.     Jujur
2.    Tarekat Syadziliyah[5]
Tarekat Syadziliyah tak dapat dilepaskan hubunganya dengan pendirinya, yakni Abu al-Hasan al-Syadzili yang mempunyai ciri khusus yang berbeda dengan tarekat-tarekat lain. Secara lengkap nama pendirinya adalah ‘Ali bin Abdullah bin ‘Abd. Al-Jabbar Abu al-Hasan al-Syadzili.
Adapun pemikiran-pemikiran tarekat al-Syaziliyyah tersebut adalah:
a.    Tidak menganjurkan kepada murid-muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka.
b.    Tidak mengabaikan dalam menjalankan syari’at Islam.
c.    Zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud pada dasarnya mengosongkan hati dari selain Tuhan.
d.   Tidak ada larangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada hartayang dimilikinya.
e.    Tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah Swt.
3.    Tarekat Naqsyabandiyah[6]
Pendiri tarekat Naqsyabandiyah adalah seorang pemuka tasawuf terkenal yakni, Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi (717 H/ 1318 M-791 H/1389 M), dilahirkan di sebuah desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara tempat lahir Imam Bukhari.
Tarekat Naqsyabandiyah adalah sebuah tarekat yang mempunyai dampak dan pengaruhyang sangat besar kepada masyarakat muslim di berbagai wilayah yang berbeda-beda. Ciri menonjol Tarekat Naqsyabandiyah adalah:
a.    Diikutinya syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah yang menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, dan lebih menyukai berdzikir dalam hati.
b.    Upaya yang serius dalam memengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta mendekatkan negara pada agama.
4.  Tarekat Khalwatiyah[7]
Nama Khalwatiyah diambil dari nama seorang sufi ulama pejuang Makassar abad ke-17, Syaikh Yusuf al-makassari al-Khalwati (w.751 H/1350 M), yang sampai sekarang masih dihormati. Sekarang terdapat dua cabang terpisah dari tarekat ini yang hadir bersama. Keduanya dikenal dengan nama Tarekat Khalwatiyah Yusuf dan Khalwatiyah Samman.
Tarekat Khalwatiyah disandarkan kepada nama Syaikh Yusuf al-Makassari dan Tarekat Khalwatiyah Samman diambil dari nama seorang sufi Madinah abad ke-18 Muhammad Samman. Kedua cabang Tarekat  Khalwatiyah ini muncul sebagai tarekat yang sama sekali berbeda, masing-masing berdiri sendiri. Terdapat berbagai perbedaan dalam hal amalan, organisasi, dan komposisi sosial pengikutnya. Tarekat Khalwatiyah Yusuf dalam berdzikir mewiridkan nama-nama Tuhan dan kalimat-kalimat singkat lainya secara sirr dalam hati, sedangkan Tarekat Khalwatiyah Samman melakukan zikir dan wiridnya dengan suara keras.
Ajaran-ajaran dasar Tarekat Khalwatiyah adalah:
a.    Yaqza: kesadaran akan dirinya sebagai makhluk yang hina di hadapan Allah Swt.
b.    Taubah: mohon ampun atas segala dosa.
c.    Muhasabah: menghitung-hitung atau introspeksi diri.
d.   Inabah: berhasrat kembali kepada Allah.
e.    Tafakkur: merenung tentang kebesaran Allah Swt.
f.     I’tisam: selalu bertindak sebagai khalifah Allah di bumi.
g.    Firar: lari dari kehidupan jahat dan keduniawian yang tidak berguna.
h.    Riyadah: melatih diri dengan beramal sebanyak-banyaknya
i.      Tasyakur: selalu bersyukur kepada Allah dengan mengabdi dan memuji-Nya.
j.      Sima’: mengosentrasikan seluruh anggota tubuh dalam mengikuti perintah-perintah Allah terutama pendengaran.
 5.  Tarekat Syattariyah[8]
   Nama Syatariyah dinisbatkan kepada Syaikh ‘Abd Allah al-Syaththari (w.890 H/1485 M), seorang ulama’ yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syihab al-Din abu Hafsh, ‘Umar Suhrawardi (539-632 H/1145-1234 M), ulama’ sufi yang memopulerkan Tarekat Suhrawardiyah.
    Salah satu ajaran Tarekat Syattariyah yang dikutip al-Sinkili dari Jawahir al-Khamsah, dan tidak dijumpai dalam kitab-kitab karangan al-Qusyasyi dan al-Kurani adalah berkaitan dengan apa yang disebut sebagai al-Asyqal al-Syaththari (amalan-amalan kaum Syaththari), yakni berbagai amalan yang secara khusus harus dilakukan oleh para pengikut Tarekat Syattariyah. Amalan-amalan tersebut dikemukakan dalam bentuk rumus-rumus atau kode-kode rahasia yang hanya dapat diketahui melalui penjelasan guru (syaikh).
6.  Tarekat Tijaniyah[9]
     Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Tijani yang lahir di ‘Ain Madi, aljazair Selatan, dan meninggal di Fez, Maroko, dalam usia 80 tahun. Syaikh Ahmad Tijani diyakini oleh kaum Tijaniyah sebagai wali agung yang memiliki derajat tertinggi, dan memiliki banyak keramat.
      Secara umum, amalan zikir (wirid) dalam Tarekat Tijaniyah terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu istighfar, sholawat, dan hailalah. Inti ajaran zikir dalam Tarekat Tijaniyah adalah sebagai upaya mengosongkan jiwa dari sifat-sifat lupa terhadap Allah dan mengisinya secara terus menerus dengan menghadirkan jiwa kepada Allah melalui zikir terhadap zat, sifat-sifat, hukum-hukum, dan perbuatan Allah.
7.  Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah[10]
Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah ialah sebuah tarekat gabungan dari tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah (TQN). Tarekat ini didirikan oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas yang dikenl sebagai penulis kitab Fath al-‘Arifin. Sambas adalah nama sebuah kota di seelah utara Pontianak, Kalimantan Barat. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tampil sebagai sebuah tarekat gabungan karena Syaikh Sambas adalah seorang syaikh dari kedua tarekat dan mengajarkanya dalam satu versi yaitu mengajarkan dua jenis zikir sekaligus yaitu zikir yang dibaca dengan keras (jahar) dalam Tarekat Qadiriyah dan zikir yang dilakukan di dalam hati (khafi) dalam Tarekat Naqsyabandiyah.



[1]Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, (Depok : Pustaka Ilman, 2009), hlm. 183
[2]Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang : Rasail Media Group, 2010), hlm. 115
[3]Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, ( Jakarta : Prenada Media Group, Cet ke- 4, 2011), hlm. 6
[4]Ibid., hlm. 26
[5]Ibid., hlm. 28
[6]Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah, ( Bandung: Penerbit Mizan, 1998), hlm. 48
[7]Ibid., hlm. 50
[8]Nasirudin., Op cit., hlm. 230
[9]Alwi Shihab, Op cit., hlm. 201
[10]Sri Mulyati, Op cit., hlm. 31