Selasa, 25 Juni 2019

Filsafat Ilmu

   
PEMBAHASAN

A.      Pengetahuan dan Ukuran Kebenaran
1.    Definisi Pengetahuan
Paul Edwards dalam bukunya The Encyclopedia of Philosophy menyatakan bahwa secara etimologi, pengetahuan berasal dari bahasa Inggris yaitu knowledge. Didalam buku tersebut juga dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief)[1]. Sedangkan secara terminologi, Sidi Gazalba dalam bukunya Sistematika Filsafat menyatakan pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti, dan pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.[2]
Dalam Kamus Filsafat yang ditulis oleh Loren Bagus dijelaskan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) didalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.[3]
Ada sebagian ahli yang berpandangan bahwa pengetahuan  dengan ilmu tidaklah berbeda. Pengetahuan bagi mereka tidak ubahnya sebagai ilmu, sehingga ilmu dengan pengetahuan tidak berbeda. Sebagian lagi memahami bahwa pengetahuan berbeda dengan ilmu atau ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah. Sebagaimana dinyatakan  M. Thoyibi, pengetahuan ilmiah tidak lain adalah ‘a higner level’  dalam perangkat pengetahuan manusia dalam arti umum sebagaimana kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan menurut Amsal Bakhtiar, pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.[4]
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu obyek tertentu, termasuk kedalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Bahkan seorang anak kecil pu telah mempunyai berbagai pengetahuan sesuai dengan tahap pertumbuhan dan kecerdasannya. Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut memperkaya hubungan antar manusia. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu tak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.[5]
      2.    Jenis-jenis Pengetahuan
Beranjak dari pengetahuan adalah kebenaran dan kebenaran adalah pengetahuan, maka di dalam kehidupan manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran. Burhanuddin salam, mengemukakan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia ada empat, yaitu:
Pertama, pengetahuan biasa, yakni pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan dengan istilah common sense, dan sering diartikan dengan good sense,  karena seseorang memiliki sesuatu dimana ia menerima secara baik. Semua orang menyebutnya sesuatu itu merah karena memang itu merah, benda itu panas karena memang dirasakan panas dan sebagainya.
Kedua, pengetahuan ilmu, yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam, yang sifatnya kuantitatif dan objektif.
Ketiga, pengetahuan filsafat, yakni pengetahuanyang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu bidang pengetahuan yang sempit dan rigid, filsafat membahas hal yang lebih luas dan mendalam. Filsafat biasanya memberikan pengetahuan yang reflektif dan kritis, sehingga ilmu yang tadinya kakudan cenderung tertutup menjadi longgar kembali
Keempat, pengetahuan agama, yakni pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat utusan-Nya. Pengethauan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama. Pengetahuan mengandung beberapa hal pokok, yaitu ajaran tentang cara berhubungan dengan Tuhan, yang sering juga disebut dengan vertikal dan cara berhubungan dengan sesama manusia, yang sering disebut dengan hubungan horizontal.[6]
Jenis-jenis pengetahuan juga dapat dilihat pada pendapat Plato dan Aristoteles. Plato membagi pengetahuan menurut tingkatan-tingkatan pengetahuan sesuai dengan karakteristik obyeknya. Pembagiannya adalah:
a.    Pengetahuan Eikasia (khayalan).
Tingkatan yang paling rendah disebut pengetahuan Eikasia, ialah pengetahuan yang obyeknya berupa bayangan atau gambaran. Pengetahuan ini isinya adalah hal-hal yang berhubungan dengan kesenangan atau kesukaan serta kenikmatan manusia yang berpengatahuan. Pengetahuan dalam tingkatan ini misalnya seseorang yang menghayal bahwa dirinya pada saat tertentu mempunyai rumah yang mewah, besar dan indah serta dilengkapi kendaraan dan lain-lain sehingga khayalannya ini terbawa mimpi. Di dalam mimpinya itu ia betul-betul merasa mempunyai dan menempati rumah itu. Apabila seseorang itu dalam keadaan sadar dan menganggap bahwa khayal dan mimpinya itu betul-betul berupa suatu fakta yang ada dalam dunia kenyataan.
b.    Pengetahuan Pistis (substansial)
Satu tingkat di atas eikasia adalah tingkatan pistis atau pengetahuan substansial. Pengetahuan ini adalah pengetahuan mengenai hal-hal yang tampak dalam dunia kenyataan atau hal-hal yang dapat diinderai secara langsung. Obyek pengetahuan pistis biasa disebut zooya oleh karena demikian itu isi pengetahuan semacam ini mendekati suatu keyakinan (kepastian yang bersifat sangat pribadi atau kepastian subyektif) dan pengetahuan ini mengandung nilai kebenaran apabila mempunyai syarat-syarat cukup bagi suatu tindakan mengetahui; misalnya mempunyai pendengaran yang baik, penglihatan normal serta indera yang normal.
c.    Pengetahuan Dianoya (Matematik)
Pengetahuan dalam tingkatan ketiga adalah pengetahuan dianoya. Plato menerangkan tingkat pengetahuan ini ialah tingkat yang ada di dalamnya sesuatu yang tidak hanya terletak pada fakta atau obyek yang tampak tetapi juga terletak pada bagaimana cara berpikirnya. Contoh yang dituturkan oleh Plato tentang pengetahuan ini ialah para ahli matematika atau geometri, dimana obyeknya adalah matematik yakni suatu yang harus diselidiki dengan akal budi dengan melalui gambar-gambar, diagram kemudian ditarik suatu hipotesa. Hipotesa ini diolah terus hingga sampai pada kepastian. Dengan demikian dapat dituturkan bahwa bentuk pengetahuan tingkat dianoya ini adalah pengetahuan yang banyak berhubungan dengan masalah matematik atau kuantitas entah lus, isi, jumlah, berat yang semata-mata merupakan suatu kesimpulan dari hipotesa yang diolah oleh akal pikir karenanya pengetahuan ini disebut juga pengetahuan pikir.
d.   Pengetahuan Noesis (Filsafat).
Pengetahuan tingkat tertinggi disebut Noesis, pengetahuan yang obyeknya adalah arche ialah prinsip-prinsip utama yang mencakup epistemologik dan metafisik. Prinsip utama ini biasa disebut “IDE”. Plato menerangkan tentang pengetahuan ini adalah hampir sama dengan pengetahuan pikir tetapi tidak lagi menggunakan pertolongan gambar, diagram melainkan dengan pikiran yang sungguh-sungguh abstrak. Tujuannya adalah untuk mencapai prinsip-prinsip utama yang isinya adalah hal-hal yang berupa kebaikan, kebenaran, dan keadilan. Menurut Plato cara berpikir untuk mencapai tingkat tertinggi dari pengetahuan itu adalah dengan menggunakan metode dialog sehingga dapat dicapai pengetahuan yang sungguh-sungguh sempurna yang biasa disebut Episteme. (Abbas Hamami M)[7]
3.    Hakikat Pengetahuan
Dapat dikatakan menjadi pengetahuan apabila terdapat usaha didalamnya, sebab pengetahuan sendiri itu merupakan hasil reaksi manusia sendiri atas obyek yang dia lihat, kalau obyek tersebut dilihat semata maka menjadi pengalaman, dan apabila obyek tersebut dilihat dengan cara ilmu melihat maka akan menjadi ilmu pengetahuan. Sehingga usaha yang dilakukan secara nonilmiah menghasilkan pengetahuan (knowledge), dan bukan science. Sedangkan melalui usaha yang bersifat ilmiah menghasilkan pengetahuan ilmiah atau ilmu.
Dengan demikian secara umum hakikat pengetahuan dapat kita pahami sebagai berikut:
a.    Pengetahuan non ilmiah/ pengetahuan biasa (common sense).
Pengetahuan non ilmiah ialah pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan cara-cara yang tidak termasuk dalam kategori metode ilmiah. Secara umum pengetahuan non ilmiah ialah hasil pemahaman manusia mengenai suatu objek tertentu yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari.

Beberapa contoh pengetahuan non ilmiah ialah sebagai berikut:
1)   Semua mata air memiliki penunggu.
2)   Burung gagak yang berkeliaran di atas rumah seseorang menandakan kematian.
3)   Anjiing yang melolong panjang di malam hari sedang melihat makhluk halus.
4)   Mereka yang memiliki gigi depan yang jarang, tak bisa dipercaya.
5)   Perempuan yang memiliki tahi lalat persis di tengah dada akan menyusahkan pasangannya kelak.[8]
b.    Pengetahuan ilmiah.
Pengetahuan ilmiah ialah segenap hasil pemahaman manusia yang diperoleh dengan menggunakan metode ilmiah. Pengetahuan ilmiah adalah suatu pengetahuan yang sudah lebih sempurna karena telah mempunyai dan memenuhi syarat tertentu dengan cara berpikir yang khas, yaitu metodologi ilmiah. Pengetahuan noesis (filsafat).
Contoh pengetahuan ilmiah ialah ketika seorang dokter mendiagnosis penyakit pasiennya, maka dokter tersebut akan terlebih dahulu melakukan tindakan medis yang bersifat ilmiah untuk mengetahui penyakit apa yang telah dialami oleh pasiennya tersebut.
c.    Pengetahuan Noesis (filsafat).
Pengetahuan yang tidak mengenal batas, sehingga yang dicari adalah sebab-sebab yang paling hakiki. Pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebanaran yang asli yang mengandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika atau pengetahuan yang objeknya adalah arche ialah prinsip utama yang mencakup epistemo-logik dan metafisik, ontologi dan aksionlogi.
d.   Pengetahuan agama.
Definisi pengetahuan agama adalah pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan melalui para Nabi dan Rasul-Nya yang bersifat mutlak dan wajib diikuti para pemeluknya. Menjadi tolak ukur kebenaran dalam suatu keyakinan dan perpegang pada kitab yang dipegang para pemeluknya.[9]

Ahmad Tafsir menyatakan bahwa pengetahuan pada dasarnya adalah keadaan mental (mental state). Mengetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang suatu objek, dengan kata lain menyusun gambaran tentang fakta yang ada di luar akal. Ada dua teori untuk mengetahui hakikat pengetahuan, yaitu:
a.    Realisme. Teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut realisme adalah gambaran yang sebenarnya dari apa yang ada di alam nyata (dari fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah dari yang asli yang ada diluar akal. Hal ini tidak ubahnya seperti gambaran yang terdapat dalam sebuah foto. Dengan demikian, relisme  berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan.
b.    Idealisme. Ajaran idealisme menegaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses psikologis yang bersifat subjektif. Oleh karena itu, pengetahuan bagi seorang idealis hanya merupakan gambaran subjektif bukan gambaran objektif tentang realitas. Subjektif dipandang sebagai suatu yang mengetahui, yaitu dari orang yang membuat gambaran tersebut. Karena itu, pengetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan hakikat kebenaran. Yang diberikan hanyalah gambaran menurut pendapat atau pengelihatan orang yang mengetahui.[10]
4.    Sumber Pengetahuan
        Semua orang mengakui memiliki pengetahuan. Persoalannya adalah dari mana pengetahuan itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan didapat. Persoalan yang muncul tentang bagaimana proses terbentuknya pengetahuan yang dimiliki oleh manusia dapat diperoleh melalui cara pendekatan apriori maupun aposteriori. Pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan apriori adalah pengetahuan yang diperoleh tanpa mengetahui proses pengalaman, baik pengalaman yang bersumber pada panca indra maupun pengalaman batin atau jiwa. Sebaliknya, pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan aposteriori adalah pengetahuan yang diperolehnya melalui informasi dari orang lain atau pengalaman yang telah ada sebelumnya. Pengetahuan yang ada pada kita diperoleh dengan menggunakan  berbagai alat yang merupakan sumber pengetahuan tersebut.[11] Dalam hal ini ada beberapa pendapat tentang sumber pengetahuan, antara lain:
a.    Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantara para Nabi. Para Nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa bersusah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan, mereka terjadi atas kehendak Tuhan semesta. Wahyu Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik mengenai kehidupan seseorang yang terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah transendental. Kepercayaan ini yang merupakan titik tolak dalam agama lewat pengkajian selanjutnya dapat menigkatkan atau menurunkan kepercayaan itu.[12]
b.    Empirisme
Menurut aliran ini, manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya, kebenaran pengetahuan hanya didasarkan pada fakta-fakta yang ada dilapangan. Pengetahuan manusia itu dapat diperoleh melalui pengalaman yang konkret karena gejala-gejala alamiah yang terjadi dimuka bumi ini adalah bersifat konkret dan dapat dinyatakan melalui pancaindra manusia. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yakni kesan-kesan (impressions) dan pengertian-pengertian atau ide-ide (ideas). Yang dimaksud kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, seperti merasakan tangan terbakar. Yang dimaksud dengan ide adalah gambaran tentang pengamatan yang samar-samar yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau terefleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman. Berdasarkan teori ini, akal hanya megelola konsep gagasan inderawi. Sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh dari panca indera. Akal tidak berfungsi banyak, kalaupun ada, itu pun sebatas ide yang kabur.[13]
c.    Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek. Fungsi panca indera hanya untuk memperoleh data-data dari alam nyaa dan akalnya menghubungkan data-data itu dengan yang lain.
d.   Intuisi
Menurut Henry Bergson intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Intuisi adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukan pengetahuan yang nisbi. Intuisi mengatasi sifat lahiriyah pengetahuan simbolis, yang pada dasarnya bersifat analisis, menyeluruh, mutlak, dan tanpa dibantu oleh penggambaran secara simbolis. Karena itu, intuisi adalah sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika.Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur, intuisi tidak dapat diandalkan. Pengetahuan intuisi dapat dipergunakan sebagai hipotesa bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakan. Kegiatan intuisi dan analisis bisa bekerja saling membantu dalam menemukan kebenaran.[14]


[1]Amsal Bakhtiar, Filafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 85
[2]Ibid., hlm. 85
[3]Ibid., hlm. 85-86
[4]A. Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 46-47
[5]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.  Cet. Ke XIV, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2013) , hlm. 104
[6]Amsal Bakhtiar, Op.,Cit hlm. 86-88
[7]Surajiyo dan Sriyono, “Struktur Pengetahuan Ilmiah dan Sikap Ilmiah Ilmuwan”, e-journal universitas Indraprasta PGRI Jakarta, 08 April 2017, hlm. 12-13. https://journal.lppmunindra.ac.id.  Diakses pada Kamis 09 Mei 2019 pukul 23.31 WIB.
[8]https://brainly.co.id. Diakses pada hari Jum’at 17 Mei 2019 pukul 05.52 WIB.
[9]Achmad Choirul Umam, Hakekat Pengetahuan (Definisi, Jenis, Hakekat dan Sumber), hlm. 6-7. https://www.academia.edu. Diakses pada Jum’at 10 Mei 2019 pukul 00.19 WIB.
[10]Malinda Wani Septi dan Mila Mahara, Hakikat Pengetahuan, https://www.academia.edu.  Diakses pada Jum’at 10 Mei 2019 pukul 01.34 WIB
[11]Ahmad Tafsir,  Filsafat Ilmu, (Bandung: Rosda Karya, 2003), hlm. 90
[12]A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 77

[13]J, Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 2002.), hlm. 130
[14]Suwardi Endraswara,  Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: CAPS, 2012), hlm. 55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar