Selasa, 25 Juni 2019

Hukum Pidana


PEMBAHASAN

A.  Pengertian Percobaan (Poging)
Menurut wijono Projodikoro Pada umumnya kata percobaan atau poging berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai. Dalam hukum pidana percobaan merupakan suatu pengertian teknik yang memiliki banyak segi atau aspek. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya adalah apabila dalam hukum pidana dibicarakan hal percobaan, bebarti tujuan yang dikejar tidak tercapai.
Menurut MvT (memorie van toelichting = penjelasan UU) ialah sebuah kalimat yang berbunyi: ”poging tot misdrijf is dan de bengonnen maar niet voltooide uitveoring van het misdrijf, of wel door een begin van uitveoring geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen” yang artinya adalah suatu kehendak seseorang untuk melakukan tindaka pidana yang telah tampak terwujud dengan permulaan pelaksanaan (tapi belum selesai juga).[1]
Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke I tentang Aturan  Umum, Bab 1V pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:
Pasal 53
1.      Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk  itu  telah ternyata dari adanya permulaan  pelaksanaan,  dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
2.      Maksimum pidana pokok  terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga.
3.      Jika kejahatan diancam  dengan  pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4.      Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Pasal 54 KUHP menyatakan bahwa pelaku percobaan hanya dapat dijatuhi pidana jika perbuatan pidana yang coba dilakukan dikategorikan sebagai kejahatan, sedangkan apabila perbuatan pidana yang coba dilakukan dikategorikan sebagai pelanggaran, maka pelakunya tidak dipidana. Dengan kata lain, mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan Poging adakalanya suatu kejahatan telah mulai dilakukan, tetapi tidak dapat diselesaikan sesuai dengan maksut si pelaku. Misalnya,
a.       A bermaksut mencuri dirumah X. Dengan membongkar dan merusak jendela, A masuk kerumah X, tetapi karena X terbangun dan jendela terbuka, A kepergok dan ditangkap oleh petugas ronda.
b.      B adalah seorang copet, pada saat memasukan tangan ke kantong R, ia ketangkap.
Kedua contoh diatas memperlihatkan bahwa maksud pelaku belum terlaksana yaitu X dan R belum kehilangan sesuatu. Meskipun deemikian, perbuatan A dan B merupakan perbuatan yang membahayakan kepentingan orang lain yang dilindungi oleh hukum dan layak diancam dengan hukuman.
Menurut Teori Subjektif, kehendak berbuat jahat dari si pelaku ini merupakan dasar ancaman hukuman. Si pelaku telah terbukti mempunyai kehendak jahat dengan memulai melekukan kejahatan tersebut.
Menurut Teori Objektif, dasar ancaman hukuman bagi sipelaku percobaan adalah karena sifat perbuatan pelaku telah membahayakan.[2]
B. Dasar Pemidanaan Percobaan
Mengenai dasar pemidanaan terhadap percobaan ini, terdapat beberapa teori sebagai berikut :
1. Teori Subjektif, Dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sikap batin atau watak yang berbahaya dari si pembuat, (apabila sudah ada niat maka ada perbuatan pelaksanaan). Termasuk penganut teori ini ialah van Hammel.
2. Teori Objektif, Dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sifat berbahayanya perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat (apabila kegiatan sudah membahayakan orang lain).
Teori Objektif terbagi 2 yaitu :
a. Teori Objektif Formil, yang menitik beratkan sifat bahayanya perbuatan itu terhadap tata hukum. Menurut teori ini, suatu delik merupakan suatu rangkaian dari perbuatan-perbuatan yang terlarang. Dengan demikian apabila seseorang melakukan perbuatan percobaan, berarti ia telah melakukan sebagian dari rangkaian delik yang terlarang itu,ini berarti ia telah membahayakan tata hukum. Penganutnya Suynstee dan Zevenbergen
b. Teori Objektif Materil, yang menitik beratkan pada sifat berbahayanya perbuatan kepentingan hukum. Penganutnya Simons.
3. Teori Campuran, Teori ini melihat dasar patut dipidananya percobaan dari dua segi yaitu, sikap batin pembuat yang berbahaya (segi subjektif) dan juga sifat berbahayanya perbuatan (segi objektif).
Prof. Moeljatno dapat dimasukkan dalam penganut teori ini, karena menurutnya Pasal 53 KUHP mengandung 2 inti yaitu yang subjektif dan objektif. Dengan demikian menurut beliau dalam percobaan tidak mungkin dipilih salah satu karena jika demikian berarti menyalahi 2 inti dari delik percobaan.[3]
C. Unsur-Unsur Percobaan
Berdasarkan rumusan pasal 53 ayat (1) disimpulkan unsur-unsur tindakan  yang disebut sebagai percobaan, yaitu:
1.    Adanya Niat
Di dalam teks bahasa Belanda niat ini adalah “Voornemen”yang menurut doktrin tidak lain adalah kehendak untuk melakukan kejahatan, atau lebih tepatnya disebut “opzet” atau kesengajaan (Hazewinkel – suriga; Jonkers; pompe; simons), dan ini meliputi semua atau dengan sadar kemungkinan. Namun menurut vos yang dimaksud dengan kesengajaan diini adalah hanya kesengajaan sebagai maksud.
Niat merupakan suatu keinginan untuk melakukan suatu perbuatan, dan ia berada di alam batiniah seseorang. Sangat sulit bagi seseorang untuk mengetahui apa niat yang ada didalam hati orang lain. Niat seseorang akan dapat diketahui jika ia mengatakanya pada orang lain. Namun niat itu juga dapat diketahui dari tindakan (perbuatan) yang merupakan permulaan  dari pelaksanaan niat. Oleh karena itu dalam percobaan, niat seseorang untuk melakukan percobaan dihubungkan dengan permulaan pelaksanaan.[4]
2.    Adanya Permulaan Pelaksanaan
Kehendak atau niat saja belum mencukupi agar orang itu dapat dipidana, sebab jika hanya berkehendak saja maka orang itu tidak diancam pidana, berkehendak adalah bebas. Permulaan pelaksanaan berarti telah terjadinya perbuatan tertentu.
Dalam hal ini, telah dimulai pelaksanaan suatu perbuatan yang dapat dipandang sebagai salah satu unsur dari norma pidana, misalnya: kehendak mencuri atau mengambil barang milik orang lain mulai diwujudkan misalnya, telah memasuki rumah atau pencopet telah memasukan tangan kekantong orang yang hendak dicopet.
Ada beberapa teori yang menjelaskan permulaan pelaksanaan, atara lain:
a. Teori subyektif (G. A. Van HAMEL)
Adanya permulaan pelaksanaan perbuatan jika dipandang dari sudut niat ternyata tetap niatnya ini. Dalam ajaran yang berorientasikan mental ini, di anggap cukup kalau pembuat di waktu melakukan perbuatan menunjukkan sikap berbahayanya dan bahwa dia sanggup menyelesaikan kejahatan.
b. Teori obyektif (D. Simons)
Di isyaratkan bahwa pembuat harus melakukan segala sesuatu untuk menimbulkan akibat tanpa campur tangan siapapun, kalau tidak dihalangi oleh kejadian yang bukan karena kehendaknya.
Perbuatan pelaksanaan harus dibedakan dengan perbuatan persiapan, yaitu:
a.  Perbuatan pelaksanaan menurut Hoge Raad
Perbuatan pelaksanaan adalah perbuatan yang hanya menurut pengalaman orang dengan tidak dilakukan perbuatan lagi, akan menimbulkan pembakaran, dapat dipandang sebagai perbuatan pelaksana.[5]
b. Perbuatan persiapan
Perbuatan persiapan adalah segala perbuatan yang mendahului perbuatan permulaan pelaksanaan, misalnya membeli senjata yang akan dipakai membunuh orang. Perbuatan-perbuatan persiapan tidak termasuk perbuatan pidana.
3. Keadaan, yakni tidak selesainya pelaksanaan bukan karena keinginan dalam dirinya.
kejahatan yang telah dimulai pelaksanaanya oleh seseorang tersebut, akhirnya tidak selesai yang disebabkan oleh sesuatu yang diluar dirinya atau bukan atas kehendak sendiri. Misalnya, A hendak mencuri dirumah P. Setelah diamatinya, A berencana masuk kerumah P melalui jendela samping yang nampaknya mudah dirusak demikianlah, A mulai melakukan aksinya, namun pada saat merusak jendela rumah petugas ronda malam mempergokinya sehingga ditangkap.
D. Teori Percobaan yang tidak Wajar (Ondeugdelijke Poging)
Poging tidak wajar terdapat apabila seseorang telah melakukan perbuatan yang dikehendaki untuk menyelesaikan kejahatan, akan tetapi kejahatan itu tidak dapat terselesaikan, dikarenakan percobaan untuk melekukan kejahatan yang dilakukan dengan sarana yang tidak memiliki potensi untuk menimbulkan akibat.
Tidak wajarnya atau tidak dapatnya kejahatan itu diselesaikan, dapat disebabkan oleh objeknya, Akan tetapi juga mungkin dengan sasaranya. Ketidakmampuan itu dapat dibagi menurut sifatnya yaitu: Mutlak tidak mampu dan Relatif tidak mampu
1. Percobaan tidak mampu karena objeknya tidak sempurna yang dibedakan antara:
a. Objek yang tidak sempurna absolut: melakukan perbuatan untuk mewujudkan suatu kejahatan mengenai objek tertentu yang ternyata tidak sempurna, dan oleh karena itu maka kejahatan tidak terjadi dan tidak mungkin dapat terjadi. Contoh : membunuh mayat.
b. Objek yang tidak sempurna relatif: melakukan perbuatan yang ditujukan untuk mewujudkan kejahatan tertentu pada objek tertentu, yang pada umumnya dapat tercapai, tetapi dalam keadaan khusus tertentu objek tersebut menyebabkan kejahatan tidak terjadi. Contoh : membobol brankas yang kebetulan sedang tidak ada isinya.
2. Percobaan tidak mampu karena alatnya yang tidak sempurna dibedakan antara:
a. Alatnya yang tidak sempurna absolut: melakukan perbuatan dengan maksud mewujudkan kejahatan, dengan menggunakan alatnya yang tidak sempurna mutlak, maka kejahatan itu tidak terjadi, dan tidak mungkin terjadi. Perbuatan ini tidak dapat melahirkan tindak pidana. Syarat-syarat yang telah ditentukan dalam pasal 53 ayat (1) tidak mungkin ada dalam alat yang tidak sempurna mutlak. Contoh : menembak orang dengan senjata api yang tak berpeluru.
b. Alatnya yang tidak sempurna relatif: melakukan perbuatan dengan maksud mewujudkan kejahatan dengan menggunakan alat yang tidak sempurna relatif, artinya kejahatan dapat terjadi dan dapat dipidana. Contoh : meracuni orang dengan dosis kurang.[6]
E. Pemidanaan Terhadap Percobaan
Sanksi terhadap percobaan di atur dalam pasal 53 ayat (2) dan ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut:
(2) maksimal hukuman pokok atas kejahatan itu dalam hal percobaan dikurangi dengan sepertiga.
(3) kalau kejahatan itu di ancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup, maka di jatuhkan hukuman penjara paling lama lima belas tahun.
Hukuman bagi percobaan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3) KUHP dikuranggi sepertiga dari hukuman pokok maksimum dan paling tinggi lima belas tahun penjara.
Didalam ayat (2) dari Pasal 53 KUHP ditentukan bahwa hukuman yang dapat dikenakan atas perbuatan percobaan ialah maksimum hukuman pokok atas suatu kejahatan diancam hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka terhadap perbuatan percobaannya diancamkan hukuman maksimum lima belas tahun penjara.
Dalam hal percobaan maksimum ancaman hukuman (bukan yang dijatuhkan) pada kejahatan dikurangkan dengan sepertiganya, ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup diganti dengan hukuman penjara maksimum lima belas tahun, akan tetapi mengenai hukuman tambahan sama saj halnya dengan kejahatan yang selesi dilakukan.[7]
Percobaan Yang Tidak Diancam Dengan Sanksi
Tidak semua percobaan melakukan kejahatan diancam dengan sanksi. Ternyata KUHP mencantumkan hal tersebut dengan membuat rumusan bahwa percobaan untuk melakukan tindak pidana tertentu tidak dapat dihukum antara lain :
a.       Pasal 184 ayat (5) KUHP, percobaan melakukan perkelahian tanding antara seseorang lawan seseorang.
b.      Pasal 302 ayat (4) KUHP, percobaan melakukan penganiayaan ringan terhadap binatang
c.       Pasal 351 ayat (5) KUHP dan pasal 352 ayat (2), percobaan melakukan penganiayaan dan penganiayaan ringan.
d.      Pasal 54 KUHP, percobaan melakukan pelanggaran, tidak boleh dihukum.


[1]Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Abadi Bakti, 1997), hlm. 536
[2]Leden Merpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008). hlm. 94
[3]Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, 2000). hlm. 370
[4] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Depok: P.T. Raja Grafindo Persada, 2013). hlm.154
[5]Wijono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: PT. Eresco, 1989). hlm. 97
[6]Aidia Fitriyanti, Jurnal Hukum Pidana Percobaan (Poging), Di akses tanggal 28 Oktober 2018
[7] Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012). hlm. 115


Tidak ada komentar:

Posting Komentar