PEMBAHASAN
A. Pengertian Percobaan (Poging)
Menurut wijono Projodikoro Pada umumnya kata percobaan
atau poging berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang pada
akhirnya tidak atau belum tercapai. Dalam hukum pidana percobaan merupakan
suatu pengertian teknik yang memiliki banyak segi atau aspek. Perbedaan dengan
arti kata pada umumnya adalah apabila dalam hukum pidana dibicarakan hal
percobaan, bebarti tujuan yang dikejar tidak tercapai.
Menurut MvT (memorie van toelichting = penjelasan UU)
ialah sebuah kalimat yang berbunyi: ”poging tot misdrijf is dan de bengonnen
maar niet voltooide uitveoring van het misdrijf, of wel door een begin van
uitveoring geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen” yang artinya
adalah suatu kehendak seseorang untuk melakukan tindaka pidana yang telah
tampak terwujud dengan permulaan pelaksanaan (tapi belum selesai juga).[1]
Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke I tentang
Aturan Umum, Bab 1V pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53 KUHP
berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah
sebagai berikut:
Pasal 53
1. Mencoba melakukan
kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya
permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan
semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
2. Maksimum pidana
pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga.
3. Jika kejahatan
diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 54 KUHP menyatakan bahwa pelaku percobaan hanya
dapat dijatuhi pidana jika perbuatan pidana yang coba dilakukan dikategorikan
sebagai kejahatan, sedangkan apabila perbuatan pidana yang coba dilakukan
dikategorikan sebagai pelanggaran, maka pelakunya tidak dipidana. Dengan kata
lain, mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan
Poging adakalanya suatu kejahatan telah mulai dilakukan, tetapi tidak dapat
diselesaikan sesuai dengan maksut si pelaku. Misalnya,
a. A bermaksut
mencuri dirumah X. Dengan membongkar dan merusak jendela, A masuk kerumah X,
tetapi karena X terbangun dan jendela terbuka, A kepergok dan ditangkap oleh
petugas ronda.
b. B adalah
seorang copet, pada saat memasukan tangan ke kantong R, ia ketangkap.
Kedua contoh diatas memperlihatkan bahwa maksud pelaku
belum terlaksana yaitu X dan R belum kehilangan sesuatu. Meskipun deemikian,
perbuatan A dan B merupakan perbuatan yang membahayakan kepentingan orang lain
yang dilindungi oleh hukum dan layak diancam dengan hukuman.
Menurut Teori Subjektif, kehendak berbuat jahat dari si pelaku
ini merupakan dasar ancaman hukuman. Si pelaku telah terbukti mempunyai
kehendak jahat dengan memulai melekukan kejahatan tersebut.
Menurut Teori Objektif, dasar ancaman hukuman bagi sipelaku percobaan
adalah karena sifat perbuatan pelaku telah membahayakan.[2]
B. Dasar Pemidanaan Percobaan
Mengenai dasar pemidanaan terhadap percobaan ini, terdapat beberapa teori
sebagai berikut :
1. Teori Subjektif, Dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sikap
batin atau watak yang berbahaya dari si pembuat, (apabila sudah ada niat maka
ada perbuatan pelaksanaan). Termasuk penganut teori ini ialah van Hammel.
2. Teori Objektif, Dasar patut dipidananya percobaan
terletak pada sifat berbahayanya perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat
(apabila kegiatan sudah membahayakan orang lain).
Teori Objektif terbagi 2 yaitu :
a. Teori Objektif Formil, yang
menitik beratkan sifat bahayanya perbuatan itu terhadap tata hukum. Menurut
teori ini, suatu delik merupakan suatu rangkaian dari perbuatan-perbuatan yang
terlarang. Dengan demikian apabila seseorang melakukan perbuatan percobaan,
berarti ia telah melakukan sebagian dari rangkaian delik yang terlarang itu,ini
berarti ia telah membahayakan tata hukum. Penganutnya Suynstee dan Zevenbergen
b. Teori Objektif Materil, yang menitik
beratkan pada sifat berbahayanya perbuatan kepentingan hukum. Penganutnya
Simons.
3. Teori Campuran, Teori ini melihat dasar patut
dipidananya percobaan dari dua segi yaitu, sikap batin pembuat yang berbahaya
(segi subjektif) dan juga sifat berbahayanya perbuatan (segi objektif).
Prof. Moeljatno dapat dimasukkan dalam penganut teori ini, karena
menurutnya Pasal 53 KUHP mengandung 2 inti yaitu yang subjektif dan objektif.
Dengan demikian menurut beliau dalam percobaan tidak mungkin dipilih salah satu
karena jika demikian berarti menyalahi 2 inti dari delik percobaan.[3]
C. Unsur-Unsur Percobaan
Berdasarkan rumusan pasal 53 ayat (1) disimpulkan
unsur-unsur tindakan yang
disebut sebagai
percobaan, yaitu:
1. Adanya Niat
Di dalam teks bahasa Belanda niat ini adalah “Voornemen”yang
menurut doktrin tidak lain adalah kehendak untuk melakukan kejahatan, atau
lebih tepatnya disebut “opzet” atau kesengajaan (Hazewinkel – suriga;
Jonkers; pompe; simons), dan ini meliputi semua atau dengan sadar
kemungkinan. Namun menurut vos yang dimaksud dengan kesengajaan diini adalah
hanya kesengajaan sebagai maksud.
Niat merupakan suatu keinginan untuk melakukan
suatu perbuatan,
dan ia berada
di alam batiniah seseorang.
Sangat sulit
bagi seseorang untuk mengetahui apa niat yang ada didalam hati orang lain. Niat seseorang
akan dapat diketahui
jika ia
mengatakanya pada orang lain.
Namun niat itu
juga dapat diketahui dari tindakan (perbuatan) yang merupakan permulaan dari
pelaksanaan niat. Oleh karena
itu dalam percobaan,
niat seseorang
untuk melakukan percobaan dihubungkan dengan permulaan pelaksanaan.[4]
2. Adanya
Permulaan Pelaksanaan
Kehendak atau niat saja belum mencukupi agar orang itu
dapat dipidana, sebab jika hanya berkehendak saja maka orang itu tidak diancam
pidana, berkehendak adalah bebas. Permulaan pelaksanaan berarti telah
terjadinya perbuatan tertentu.
Dalam hal ini, telah dimulai pelaksanaan suatu perbuatan
yang dapat dipandang sebagai salah satu unsur dari norma pidana, misalnya:
kehendak mencuri atau mengambil barang milik orang lain mulai diwujudkan
misalnya, telah memasuki rumah atau pencopet telah memasukan tangan kekantong
orang yang hendak dicopet.
Ada beberapa teori yang menjelaskan permulaan
pelaksanaan, atara lain:
a. Teori subyektif (G. A. Van HAMEL)
Adanya permulaan pelaksanaan perbuatan jika dipandang
dari sudut niat ternyata tetap niatnya ini. Dalam ajaran yang berorientasikan
mental ini, di anggap cukup kalau pembuat di waktu melakukan perbuatan
menunjukkan sikap berbahayanya dan bahwa dia sanggup menyelesaikan kejahatan.
b. Teori
obyektif (D. Simons)
Di isyaratkan bahwa pembuat harus melakukan segala
sesuatu untuk menimbulkan akibat tanpa campur tangan siapapun, kalau tidak dihalangi
oleh kejadian yang bukan karena kehendaknya.
Perbuatan pelaksanaan harus dibedakan dengan perbuatan
persiapan, yaitu:
a. Perbuatan
pelaksanaan menurut Hoge Raad
Perbuatan
pelaksanaan adalah perbuatan yang hanya menurut pengalaman orang dengan tidak
dilakukan perbuatan lagi, akan menimbulkan pembakaran, dapat dipandang sebagai
perbuatan pelaksana.[5]
b. Perbuatan persiapan
Perbuatan persiapan adalah segala perbuatan yang
mendahului perbuatan permulaan pelaksanaan, misalnya membeli senjata yang akan dipakai
membunuh orang. Perbuatan-perbuatan persiapan tidak termasuk perbuatan pidana.
3. Keadaan, yakni tidak selesainya pelaksanaan bukan karena keinginan dalam dirinya.
kejahatan yang telah dimulai pelaksanaanya oleh seseorang
tersebut, akhirnya tidak selesai yang disebabkan oleh sesuatu yang diluar
dirinya atau bukan atas kehendak sendiri. Misalnya, A hendak mencuri dirumah P.
Setelah diamatinya, A berencana masuk kerumah P melalui jendela samping yang
nampaknya mudah dirusak demikianlah, A mulai melakukan aksinya, namun pada saat
merusak jendela rumah petugas ronda malam mempergokinya
sehingga ditangkap.
D.
Teori Percobaan yang tidak Wajar (Ondeugdelijke Poging)
Poging tidak wajar terdapat apabila seseorang telah melakukan
perbuatan yang dikehendaki untuk menyelesaikan kejahatan, akan tetapi kejahatan
itu tidak dapat terselesaikan, dikarenakan percobaan untuk melekukan kejahatan
yang dilakukan dengan sarana yang tidak memiliki potensi untuk menimbulkan
akibat.
Tidak wajarnya atau tidak
dapatnya kejahatan itu diselesaikan, dapat disebabkan oleh objeknya, Akan
tetapi juga mungkin dengan sasaranya. Ketidakmampuan itu dapat dibagi menurut
sifatnya yaitu: Mutlak tidak
mampu dan Relatif tidak
mampu
1. Percobaan tidak
mampu karena
objeknya tidak
sempurna yang dibedakan
antara:
a. Objek yang
tidak sempurna absolut: melakukan perbuatan untuk mewujudkan suatu kejahatan
mengenai objek tertentu yang ternyata tidak sempurna, dan oleh karena itu maka
kejahatan tidak terjadi dan tidak mungkin dapat terjadi. Contoh : membunuh
mayat.
b. Objek yang
tidak sempurna relatif: melakukan perbuatan yang ditujukan untuk mewujudkan
kejahatan tertentu pada objek tertentu, yang pada umumnya dapat tercapai, tetapi
dalam keadaan khusus tertentu objek tersebut menyebabkan kejahatan tidak
terjadi. Contoh : membobol brankas yang kebetulan sedang tidak ada isinya.
2. Percobaan tidak
mampu karena alatnya
yang tidak sempurna dibedakan antara:
a. Alatnya yang
tidak sempurna absolut: melakukan perbuatan dengan maksud mewujudkan kejahatan,
dengan menggunakan alatnya yang tidak sempurna mutlak, maka kejahatan itu tidak
terjadi, dan tidak mungkin terjadi. Perbuatan ini tidak dapat melahirkan
tindak pidana. Syarat-syarat yang
telah ditentukan
dalam pasal 53
ayat (1) tidak mungkin
ada dalam
alat yang tidak
sempurna mutlak.
Contoh : menembak orang
dengan senjata api yang
tak berpeluru.
b. Alatnya yang
tidak sempurna relatif:
melakukan
perbuatan dengan
maksud
mewujudkan kejahatan
dengan
menggunakan alat yang tidak sempurna relatif, artinya kejahatan dapat terjadi dan dapat dipidana. Contoh : meracuni orang
dengan dosis kurang.[6]
E. Pemidanaan Terhadap
Percobaan
Sanksi terhadap percobaan di atur dalam
pasal 53 ayat (2) dan ayat (3) yang berbunyi
sebagai berikut:
(2) maksimal
hukuman pokok
atas kejahatan
itu dalam hal
percobaan dikurangi dengan
sepertiga.
(3) kalau
kejahatan itu di ancam
dengan hukuman
mati atau penjara
seumur hidup, maka di
jatuhkan hukuman
penjara paling lama lima belas tahun.
Hukuman bagi percobaan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3) KUHP dikuranggi sepertiga dari hukuman pokok maksimum dan paling tinggi lima belas tahun penjara.
Hukuman bagi percobaan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3) KUHP dikuranggi sepertiga dari hukuman pokok maksimum dan paling tinggi lima belas tahun penjara.
Didalam ayat (2) dari Pasal 53 KUHP ditentukan bahwa
hukuman yang dapat dikenakan atas perbuatan percobaan ialah maksimum hukuman
pokok atas suatu kejahatan diancam hukuman mati atau hukuman penjara seumur
hidup, maka terhadap perbuatan percobaannya diancamkan hukuman maksimum lima
belas tahun penjara.
Dalam hal percobaan maksimum ancaman hukuman (bukan yang
dijatuhkan) pada kejahatan dikurangkan dengan sepertiganya, ancaman hukuman
mati atau penjara seumur hidup diganti dengan hukuman penjara maksimum lima
belas tahun, akan tetapi mengenai hukuman tambahan sama saj halnya dengan
kejahatan yang selesi dilakukan.[7]
Percobaan Yang Tidak Diancam Dengan Sanksi
Tidak semua percobaan melakukan kejahatan diancam dengan sanksi. Ternyata
KUHP mencantumkan hal tersebut dengan membuat rumusan bahwa percobaan untuk
melakukan tindak pidana tertentu tidak dapat dihukum antara lain :
a. Pasal 184
ayat (5) KUHP, percobaan melakukan perkelahian tanding antara seseorang
lawan seseorang.
b. Pasal 302
ayat (4) KUHP, percobaan melakukan penganiayaan ringan terhadap binatang
c. Pasal 351
ayat (5) KUHP dan pasal 352 ayat (2), percobaan melakukan penganiayaan dan
penganiayaan ringan.
d. Pasal 54
KUHP, percobaan melakukan pelanggaran, tidak boleh dihukum.
[1]Lamintang,
Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Abadi Bakti,
1997), hlm. 536
[2]Leden Merpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2008). hlm. 94
[3]Satochid
Kartanegara, Hukum Pidana, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, 2000). hlm.
370
[4]
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,
(Depok: P.T. Raja Grafindo Persada, 2013). hlm.154
[5]Wijono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia,
(Bandung: PT. Eresco, 1989). hlm. 97
[6]Aidia Fitriyanti, Jurnal Hukum Pidana Percobaan (Poging),
Di akses tanggal 28 Oktober 2018
[7]
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum
Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012). hlm. 115
Tidak ada komentar:
Posting Komentar